Book Review : Dilan, dia adalah Dilanku Tahun 1990
"Jangan rindu. Ini berat, kau takkan kuat.
Biar aku saja." -Dilan (1990)
Pertama kali aku beli buku ini sekitar dua minggu yang lalu, telat memang tapi tak apa. Aku membelinya di Gramedia daerah Jakarta, tepatnya di Mall Kalibata. Covernya beda dari novel yang lain menarikku untuk membelinya, padahal bisa saja aku pinjam ke teman atau ke perpus karena novel ini sudah menjadi best seller semenjak Desember, 2015. Novel ini mempunyai 348 halaman dengan penulisnya Pidi Baiq, biasa disebut ayah oleh para penggemarnya.
Novel Dilan ini sebenarnya mempunyai cerita yang sama seperti novel fiksi remaja pada umumnya, tentang bagaimana remaja SMA yang tengah dimabuk asmara dengan berbagai persoalan, masalah dan segala upaya di dalamnya, namun setting waktu dan karakternyalah yang menarik dari buku Pidi Baiq ini. Bertempat di Bandung Tahun 1990, Bandung yang saat itu masih sejuk, masih nyaman, tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, tidak ada kemacetan dan lain-lain seperti yang terjadi sekarang. Fokus ceritanya tentu saja kepada seorang pria bernama Dilan, yang notabene anak nakal di sekolahnya, sang panglima tempur yang doyan bikin puisi, manusia baku nan romantis, manusia sengklek nan istimewa. Yang menarik lagi dalam buku ini, Dilan diceritakan dalam sudut pandang perempuan, namanya Milea.
Jujur, kukira ini bukan novel tapi cerita bergambar, karena saat membuka bukunya kita disuguhkan ilutrasi-ilustrasi wajah dan nama dibawahnya, untungnya dugaanku salah. Novel Dilan yang pertama ini terdiri dari 25 bab dengan berbagai ilutrasi yang mewarnai di beberapa bab. Mengagumkan, Ilutrasi menjadi daya tarik tersendiri untuk terus membacanya, menjadikan kita lebih dekat dengan para karakter di dalamnya. Setiap karakter mempunyai daya tarik, dan Dilanlah yang terbesar. Aku suka bagaimana Dilan memberikan perhatian kepada Milea, baik tindakan ataupun ucapan. Dilan seakan-akan memberitahuku bagaimana cara mendapatkan wanita dan bagaimana cara memperlakukannya. Aku suka bagaimana Pidi Baiq bercerita walaupun di bab awal sedikit menyesuaikan karena novel ini rasanya baku sekali, tapi itu tak masalah karena di bab-bab berikutnya aku sudah terbiasa.
Cerita Dilan ini alurnya maju, diawali dengan perkenalan lanjut ke pendekatan sampai ke ikatan. Jujur, yang membuatku tetap baca novel ini selain karena alur dan tempatnya adalah karena percakapannya, percakapan Dilan disini sangat menarik untuk disimak, tak jarang beberapa kali aku tertawa dan tersenyum sendiri gara-gara obrolan Dilan ini padahal cuman yang sepele bahkan tak penting, aku ngambil contoh percakapan di hal. 215:
"Hey."
"Aku tadi ke sekolah," kata Dilan.
"Ngapain?" tanyaku.
"Nyari kamu."
"Aku gak tau."
"Sekarang tau."
"Iya," kataku tersenyum.
atau di hal. 52 :
"Tadi, aku datang."
"Iya." ucapku.
"Kau tau kenapa aku datang?"
"Kenapa?"
"Kalau aku gak datang karena takut ayahmu, aku pecundang."
Aku senyum.
"Jadi, aku datang," katanya. "Kalau dimarah, bagus."
"Kok bagus?"
"Kalau dimarah, nanti kamu jadi kasihan ke aku."
Dilan ketawa. Aku hanya senyum.
"Kasihan gak?'
"Enggak."
"Syukurlah."
"Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur."
"Oh."
"Kenapa sekarang bisa ngomong?" tanya Dilan. "Kamu ngigau?"
"Iya."
"Ha ha ha ha ha."
Masih banyak sebenarnya tapi nanti bakal panjang banget kalau ditulis.Pokoknya kalian baca sendiri dan rasakan sensasinya.
Overall, novel Dilan yang pertama ini tidak sia-sia aku beli, karena selain menarik, novel ini juga memberiku banyak pelajaran bagaimana cara menaklukan wanita (ha ha ha ha), novel ini cocok untuk remaja-remaja yang tengah di mabuk cinta, di masa putih abu puncaknya, novel ini membuatku mengingat momen-momen berharga di masa putih abu terutama dalam momen asmara
(4,5/5)
Leave a Comment